Sanggaran dan Sang Kala yang Berputar Lambat (1)
3 Agustus 2009
Hidup tidak pernah mudah untuk Sanggaran. Di sana waktu seperti berputar amat lambat. Zaman bergerak, musim berganti, Sanggaran seolah berhenti pada satu titik di masa lalu. Sejak itu Sanggaran senyap, perlahan menghilang dan tidak tampak lagi di antara arak-arakan merayakan kemajuan, bahkan di antara mereka yang muncul belakangan.
Lantas, mengalami Sanggaran rasanya seperti mengalami hidup yang terlempar keluar dari pusaran waktu. Nyaris tak tersentuh kekinian. Waktu bagi Sanggaran berada di batas-batas masa lalu. Sementara masa kini adalah kegagapan yang malahan diam membisu tatkala bicara tentang masa yang akan datang. Waktu bagi Sanggaran ditandai oleh gerak pendulum yang macet sejak lama. Barangkali sejak 64 tahun lalu. Begitulah kehidupan Sanggaran kini. Terperangkap di dalam enam dekade kesunyian.
Sanggaran adalah desa kecil di Selatan Doloksanggul, ibukota Kabupaten Humbang Hasundutan. Dari Doloksanggul, ada dua pintu masuk Sanggaran. Pertama adalah Sitapongan. Desa ini dicapai lewat Purba Manalu, Siborboron, dan Bonandolok. Sitapongan adalah desa terdekat Sanggaran yang dapat dilalui dengan mobil.
Satu desa lagi adalah Janjimarria, nama awal untuk Janji Nagodang sekarang. Ke desa ini orang harus melewati Onan Ganjang. Satu jalur langsung menuju Janji Nagodang. Satu lagi melalui Sihikkit dan Hutajulu dari mana Dr. R.E. Nainggolan, mantan Bupati Tapanuli Utara dan kini Sekretaris Daerah Provinsi Sumut, berasal. Menghubungkan Sanggaran dengan Janji Nagodang adalah jalan setapak mendaki bukit curam dan menembus hutan lebat.
Mengendarai mobil, dari Doloksanggul ke Bonandolok butuh waktu tidak kurang dari 1 jam. Waktu yang terlalu lama untuk jarak tempuh yang hanya 21 KM. Penyebabnya adalah kondisi jalan yang buruk, sebuah keadaan yang lazim ditemukan di Kabupaten Humbang Hasundutan. Menurut data dari BPS setempat hanya 24% jalan di kabupaten ini yang dapat dikategorikan dalam kondisi baik.
Bonandolok adalah kampung besar marga Simamora. Sebuah peta terbitan tahun 1857 yang dibuat oleh kartografer Belanda W.J. Versteeg menyebut seluruh kawasan Sijamapolang dan Hurlang (daerah Parmonangan Tapanuli Utara) dengan istilah Simamora. Sebuah pilihan yang tidak sepenuhnya tepat sebab Sijamapolang tidak menunjuk kepada kesatuan genealogis marga. Namun istilah yang sama cukup membuktikan bahwa marga Simamora mendominasi kawasan ini.
Bonandolok sekarang menjadi ibukota Kecamatan Sijamapolang di mana Sanggaran termasuk salah satu desanya. Sejak dulu Sijamapolang dikenal sebagai kawasan penghasil kemenyan. Istilah si jama polang menunjuk kepada kebiasaan petani kemenyan yang menggunakan tali polang (tali berukuran besar umumnya terbuat dari pilinan ijuk) sebagai penyangga memanjat pohon kemenyan untuk menyadap resin.
Kemenyan itulah yang memasyhurkan nama Bonandolok untuk dikenal sebagai daerah yang menonjol kemakmurannya. Selain kemenyan, kawasan ini juga kaya dengan pohon kapur barus yang amat mahal harganya di masa lalu. Bersama Hurlang, Sijamapolang adalah salah satu penghasil utama komoditi yang membuat nama Barus mendunia. Sapi punya susu, nona punya nama. Dikenal dengan Susu Cap Nona. Sijamapolang punya kapur, Barus punya nama, dikenal dengan Kapur Barus!
Tetapi itu dulu ketika kapur barus dan kemenyan menjadi primadona. Kini, Bonandolok terlihat kumuh dan renta. Penduduknya, yang frustrasi dengan kemenyan yang makin tidak bernilai beralih ke tanaman palawija. Hasilnya sama saja. Harga palawija juga tidak karuan. Alhasil, orang Bonandolok tetap saja kesulitan mengembalikan kejayaan.
Yang nampak kini adalah sisa-sisa kemakmuran masa lalu yang terlihat di sepanjang jalan. Masih tersisa beberapa rumah tua dari kayu yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Arsitekturnya khas Melayu dengan beranda yang plafonnya dihiasi ornamen khas. Kurang lebih seperti ornamen Istana Maimun di Medan.
Di masyarakat Batak masa lampau (bahkan hingga kini) kelas sosial dapat dilihat dari bentuk rumahnya. Masyarakat biasa tempo dulu tinggal di ruma Batak, bangunan besar dengan toru bara yang tinggi beserta atap melengkung dengan jendela yang minim dan pintu rumah yang tidak terlihat dari luar. Rumah itu dihuni oleh beberapa keluarga sekaligus.
Sementara kalangan elit membangun rumah seperti orang Melayu dengan beranda dan ornamen khas beserta jendela dan pintu besar berkaca. Mudah diduga, rumah-rumah itu dulunya milik Jaihutan atau Kepala Negeri, pemangku kekuasaan lokal bentukan kolonial Belanda. Atau milik para tokke, yakni mereka yang menguasai sumber daya ekonomi. Di Bonandolok keberadaan rumah seperti itu memberi kesan zaman keemasan yang telah lama berlalu.
Sisa kebesaran lain adalah onan, pasar besar setiap Rabu. Onan Bonandolok masih bertahan sejak sebelum zaman Belanda hingga kini. Dulu, di onan inilah para tokke haminjon (saudagar kemenyan) dan kapur barus mengumpul dari petani daerah sekitar, Sitapongan, Sanggaran dan Parmonangan. Bahkan mungkin dari Sipahutar dan Pangaribuan.
Saudagar-saudagar ini selanjutnya membawanya ke Barus melalui Pintubosi Onan Ganjang dan Tukka. Mereka menggunakan kuda pengangkut barang yang disebut hoda boban. Di Barus mereka menjualnya ke saudagar-saudagar Cina, Tamil dan Aceh yang selanjutnya mengirim kemenyan dan kapur barus ke Cina, India, Afrika dan Timur Tengah.
Neubronner van der Tuuk adalah filolog internasional pertama yang memperkenalkan aksara dan bahasa Batak ke khazanah global. Karya-karyanyalah yang menginspirasi Friedrich Fabri, inspektur Rheinische Missiongesellschaft (RMG), mengirim misionaris Jerman, yang tertahan oleh perang antarsuku di Kalimantan pertengahan abad ke-19, mengabarkan Injil ke Tanah Batak.
Dalam buku suntingan Rob Nieuwenhuys berjudul De Pen in Gaal Gedoopt yang berisi kumpulan surat-suratnya van der Tuuk menulis bahwa selama tinggal di Barus pada tahun-tahun 1851-1857 dia sering menampung para pedagang kemenyan Humbang sampai belasan orang di rumahnya. Para pedagang ini menginap di rumahnya tanpa bayar dan sebagai gantinya mereka diminta untuk menceritakan turi-turian (legenda) Batak. Selain itu beberapa di antara mereka juga memberikan pustaha Batak kepada van der Tuuk. Salah seorang di antaranya adalah Ompu Manungkol Langit dari Sijamapolang. Dari orang ini van der Tuuk mendapatkan sebuah pustaha berisi tonggo-tonggo (doa) dan mitos Boru Deak Parujar.
Jelas bahwa Sijamapolang berperan penting dalam historiografi Batak. Johannes Vergouwen ahli hukum adat Belanda yang meneliti di Tanah Batak awal abad ke-20 malahan menempatkan Sijamapolang terpisah dari Humbang. Yang terakhir ini meliputi daerah Lintongnihuta sampai Siborongborong. Sementara daerah Doloksanggul dan Onan Ganjang dimasukkan sebagai bagian dari Sijamapolang. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar