SELAMAT DATANG dI MUDA SIJAMAPOLANG

HORAS

BERITA

 

Jalan di Desa Sibuntuon Sijamapolang Sangat Memprihatinkan
Camat: Kerusakan Jalan Diduga Akibat Truk Pengangkut Kayu Melebihi Muatan
Sabtu, 15 Maret 2014 | 18:30:57
Humbahas (SIB)- Kondisi jalan di Desa Sibuntuon, Kecamatan Sijamapolang Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) saat ini sangat memprihatinkan. Padahal, sebagian besar jalan di desa itu baru beberapa tahun siap dikerjakan pihak terkait, namun sudah rusak kembali.

Pantauan SIB belum lama ini, di sejumlah titik jalan banyak dipenuhi lobang yang  menganga. Tidak hanya itu, sebagian besar jalan kini tampak seperti baru dilakukan pengerasan. Padahal sebenarnya jalan tersebut baru satu atau dua tahun lalu dikerjakan oleh pemerintah setempat.

Informasi yang dihimpun SIB dari sejumlah warga setempat mengatakan, kerusakan jalan baru terjadi sekitar beberapa bulan terakhir yang diduga akibat truk pengangkut kayu alam milik pengusaha warga Kecamatan Doloksanggul yang diduga selalu membawa muatan melebihi tonase.

“Baru beberapa bulan terakhir ini rusak parah. Penyebabnya gara-gara truk pengangkutan kayu yang melintas ke arah Doloksanggul,” kata salah seorang warga setempat mengaku bermarga Silaban, ketika ditanyai SIB.

Hal yang sama juga disampaikan salah seorang pelajar bermarga Simamora warga Desa Desa Nagurguran yang kebetulan melintas dari jalan tersebut. Dia mengaku sangat terganggu akibat rusaknya jalan tersebut. “Mau tidak mau, harus dilewati lah bang. Sebenarnya baru beberapa bulan terakhir kondisinya begini,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Camat Sijamapolang Luhut Parhusip ketika ditemui SIB di rumah dinasnya menyampaikan, kerusakan jalan tersebut sebagian besar diakibatkan aktifitas pengangkutan kayu alam dari Desa Sibuntuon menuju Kecamatan Doloksanggul. Dia juga mengaku jalan yang rusak tersebut belum beberapa tahun siap dikerjakan.

Dan untuk mengantisipasi bertambahnya kerusakan jalan Desa Sibuntuon dan sejumlah akses jalan lainnya, pihaknya atas nama pimpinan kecamatan sudah beberapa kali menegor dan menyurati serta menghimbau pihak pengusaha angkutan, agar tidak membawa muatan melebihi tonase jalan. Namun teguran dan himbaun itu tampaknya tidak digubris oleh pihak pengusaha pengangkutan.

“Sebenarnya saya sudah pernah menegor pengusahanya agar tidak membawa muatan yang berlebihan serta tidak melintas pada malam harinya. Dan hal itu sudah saya sampaikan kepada pimpinan. Namun kayaknya mereka (pengusaha) tidak mengindahkan peringatan itu,” kata Luhut seraya menyampaikan, kalau dia tidak salah, jalan yang rusak tersebut baru siap dikerjakan dua tahun lalu.

Dia berharap, untuk menghindari makin parahnya kerusakan jalan di daerah itu, pihak pengusaha pengangkutan dihimbau lagi agar membawa muatan sesuai dengan kemampuan jalan. “Demi kebaikan bersama, kita menghimbau pengusaha untuk tidak membawa muatan yang melebihi tonase,” harapnya. (F5/q)



Simak berita lainnya di Harian Umum Sinar Indonesia Baru (SIB). Atau akses melalui http://epaper.hariansib.com  yang di up-date setiap hari pukul 13.00 WIB.

 

 

 Polisi Tak Akan Beri Penangguhan Penahanan untuk Cicit Soeharto

Polisi tidak akan memberi penangguhan penahanan bagi cicit Soeharto, Putri Aryanto Haryowibowo (20). Polisi tetap memproses hukum anak Arie Sigit itu dan menjeratnya dengan pasal pidana narkoba.

"Kita tidak ada penangguhan penahanan," kata Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol Anjan Pramuka Putra dalam jumpa pers di Mapolda Metro Jaya.

Anjan menjelaskan, saat ini Putri masih diperiksa dan akan menjalani penahanan hingga proses hukum di kepolisian tuntas. Artinya hingga berkas diserahkan ke jaksa.

Jika Anda Batak, Katakan Pada Anak Anda Dia Batak

Children should be encouraged to take pride in their ethnic heritage, thereby boosting self-esteem.” (DeHart, Sroufe, & Cooper, Child development: Its nature and course. Boston: McGraw Hill, 2000). “Anak-anak harus didorong untuk bangga pada asal-usul etnis mereka sehingga mendongkrak rasa bangga dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri


Weekend lalu saya diperkenalkan si Bungsu adik saya pada teman barunya. Si Bungsu ini “anak gaul” sehingga kerap membawa teman baru ke rumah. Biasanya si Bungsu akan memperkenalkan nama temannya dan saya akan melanjutkannya dengan pertanyaan-pertanyaan standard seperti “tinggal dimana”, “sekolah dimana”, “kenal si bungsu dimana?”, “ayah ibu kerja dimana” dll. Kadang pertanyaan-pertanyaan itu saya akhiri dengan pertanyaan dari mana dia berasal. Teman baru si Bungsu yang usianya tidak lebih dari 20-21 tahun ini misalnya, karena wajahnya yang Ganteng, bulu matanya luar biasa bagus, kulit bersih dan tubuh atletis, saya jadi ingin tahu dari mana dia berasal.
Kamu orang apa sih, Dek?”, tanya saya ingin tahu.
Orang Jakarta, Kak”, katanya.
Kita semua orang Jakarta karena kita tinggal atau lahir di Jakarta. Maksud Kakak, kamu berasal dari suku apa”, lanjut saya.
ohhhh”, katanya seolah baru sadar salah menjawab. Saya yakin dia sebenarnya mengerti maksud saya. “Orang Sumatra, Kak”, jawab si ganteng. Saya mulai agak hilang kesabaran.
Dek, kamu tidak belajar pengantar Antropologi waktu semester satu yah? Kan Sumatra itu bukan suku bangsa, jadi enggak ada istilah saya orang Sumatra. Kok susah amat kau menjawab pertanyaan Kakak? Kamu nih ganteng dan oon yah”, lanjut saya. Si Ganteng tertawa.
Orang Medan deh, Kak”, ralatnya, gelisah. Mukanya agak bingung atau pura-pura bingung.
Si Bungsu yang tahu betul maksud saya langsung menimpali dengan wajah tidak sabar: “Lu ngomong sama Kakak gue yang bener, bilang aja lo orang Batak gitu, susah amat sih guoblog lo…. Dia ini Siregar, Kak, gak ngaku Batak! Ibunya Batak, juga, Simanjuntak.” “Waktu ketemu pertama kali juga ‘gitu’ Kak, bertele-tele waktu ditanya orang apa”, lanjut si Bungsu. “Mandi masih pake air asin, tinggal di gang sempit aja udah gak ngaku orang Batak lu..!”, lanjut si Bungsu berseloroh. Mereka terbahak. Semoga si Ganteng belajar sedikit hari itu mengenai siapa dia.
Saya bangga pada si Bungsu karena diusianya yang muda ia tidak pernah ragu mengatakan “Saya orang Batak”. Si Bungsu adalah tipikal remaja metropolitan “produk MTV” yang selalu kami khawatirkan agak menganut faham hedonis dan sangat ter-westernisasi. Sejak usia 5 tahun dia sudah ‘ngerti’ apa itu “luar negri”.
Saya juga bangga pada ayah saya yang sebagian hidupnya dihabiskan di Semarang, dan sampai akhir hidupnya selalu membaca karya-karya sastra cukup tinggi dari Rendra, Sapardi Joko Damono, hingga Ernest Hemingway itu, tetapi ia tetap mengajarkan anak-anaknya untuk bangga pada asal-usul kami. “Never be ashamed to tell people who you are. You are orang Batak”, demikian ayah saya yang berbahasa Inggris, Belanda dan Jawa itu selalu mengatakan.
Pengajaran ayah saya itu menanamkan concious saya untuk tidak pernah ragu mengatakan “saya orang Batak” ketika asal-usul saya ditanyakan dimanapun saya berada, di Danau Toba yang keras, di Yogja yang lunak maupun di Paris, London atau New York yang sophisticated, ketika saya bertemu dengan orang Indonesia disana. Bahkan ketika saya sudah menyebut diri saya sebagai “a global citizen”. “Saya Orang Batak”. Clear! Tanpa embel-embel “tapi saya lama tinggal di Singapore”, atau “tapi saya sudah tidak bisa bahasa Batak”, atau “ tetapi saya lahir di Jakarta” atau “tapi saya orang Mandailing”. Kata “tetapi” itu adalah satu dari seribu excuses yang dipakai oleh banyak orang Batak untuk mengatakan bahwa ia berbeda dari stereotype orang Batak yang terbentuk di masyarakat. Kira-kira artinya adalah “tetapi saya sudah berbudaya, sudah tidak ‘barbaric’. Saya sudah tidak makan orang lagi!”.
Menjadi orang Batak berarti terperangkap dalam konotasi negatif stereotype yang terbentuk lewat penggambaran karakter yang kasar, keras, tempered, agresif, tukang-berantem, nyali preman, gaya bicara teriak-teriak, volume suara keras, belum lagi stereotype fisik rahang bersegi, mata tajam, tubuh lebih sering tebal dan profesi yang dihubungkan dengan pencopet, supir metromini ugal-ugalan, preman, petinju kasar, pecatur suntuk, inang-inang pedagang Pasar Inpres Senen, atau penyelundup Tanjung Periuk.
Konotasi negatif inilah yang sering kali membuat banyak keluarga Batak tanpa sengaja tidak menanamkan “rasa bangga” akan asal-usul mereka pada anak-anak mereka seperti si Ganteng teman adik saya tadi, yang jelas sekali sangat berat mengatakan “saya orang Batak”, dan berkilah mengatakan dirinya “Orang Jakarta”, “orang Sumatra” dan “orang Medan”. Konotasi negatif itu juga sering membuat Orang Batak bangga jika dikatakan “tidak kelihatan Batak”, “tidak kentara Bataknya”, apa lagi kalau sudah agak “kaya” sedikit atau kenal luar negeri, sudah tidak mau terafiliasi dengan apapun yang berbau Batak. Kalau bisa jangan ‘ngaku’ orang batak. Seorang artis berdarah batak malah mendapatkan nama ”Cut “ dari ayahnya untuk menggelapkan asal-usulnya. Menyedihkan!
Konotasi negatif di atas tidak akan pernah hilang jika setiap keluarga Batak memilih untuk menanggalkan identitas anak-anak mereka, menghilangkan marga mereka dari nama-nama mereka, “menggelapkan” asal-usul mereka dengan istilah “orang Medan”, “orang Sumatra” atau “orang Jakarta” (dia pikir cuma dia yang lahir di Jakarta), serta tidak memberikan pengajaran betapa pentingnya mengenal akar dan asal-usul budaya sendiri sebelum mampu mengenal dan mencintai budaya-budaya lain, bahkan sebelum mampu menikmati Beethoven Symphony No 9. Jadi jangan bilang anda penikmat budaya jika asal-usul suku bangsa andapun tidak anda akui.
Menanamkan kebanggaan atas asal-usul pada anak-anak kita itu bukan untuk tujuan pengkultusan superioritas kesukuan atau ethnocentrism, akan tetapi penghargaan terhadap budaya, etnik, identitas dan asal-usul itu. Kebanggaan dan penghargaan itu akan memberikan “sense of belonging” atas kelanjutan sebuah nilai budaya yang menjadi pondasi untuk membangun diri sendiri. Kelak tentunya membangun lingkungan dimana dia berada.
Red Wolf seorang pejuang dan budayawan Indian, Native American dalam beberapa bukunya mengatakan: “The Native Indian passed their culture and tradition down from generation to generation from memory, not from a notepad or book. Therefore, if your Mother, Grandmother, Father or Grandfather told you or your family that you are of Indian blood, you are Indian”. Saya terpesona dengan tulisannya itu. Katanya: “ Orang Indian mewariskan budaya dan tradisi mereka dari generasi ke generasi lewat ingatan, bukan lewat catatan dan buku, jadi jika ibu, nenek, ayah atau kakekmu mengatakan bahwa engkau berdarah Indian, maka engkau adalah Indian”.
Saya implementasikan dengan bebas kalimat di atas ke dalam tulisan saya ini sebagai: “Jika engkau orang Batak, katakan pada anak-anakmu bahwa mereka adalah orang Batak”.
Penulis : Tika Sinaga
SUmber : Tika Sinaga’s Blog
 
kode pos : 22457 Kecamatan Sijama Polang
http://www.humbanghasundutankab.go.id/sijama-polang



Berita Saham


http://hariansib.blogspot.com/2010/02/ihsg-pilih-berjalan-perlahan.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar